Oleh: ppmi | September 16, 2008

Quo Vadis Gerakan Buruh


Gelombang demonstrasi komunitas pekerja beberapa waktu lalu yang menolak draf revisi UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan merupakan titik balik gerakan pekerja di Indonesia. Gerakan pekerja di Indonesia menemukan spirit resistensi-sosialnya untuk memperjuangkan kesejahteraan sosial-ekonomi yang selama ini masih dalam imajinasi karena kebijakan politik upah murah pemerintah.
Namun beberapa pegiat perpekerjaan dan pemerhati fenomena gerakan sosial memiliki perspektif pemikiran yang berbeda dalam memandang semakin meluasnya protes dan resistensi kolektif komunitas pekerja di Indonesia. Beberapa anggapan tersebut antara lain, pertama, gerakan pekerja di Indonesia masih memiliki kelemahan secara “ideologis”. Gerakan pekerja di Indonesia bukan gerakan transformatif yang berani membongkar struktur kekuasaan yang pro modal dan pasar. Gerakan pekerja di Indonesia masih berkutat pada watak “ekonomisme”, yakni berjuang untuk upah dan kesejahteraan ekonomi an sich.
Kedua, gerakan pekerja di Indonesia belum memiliki kekuatan organisasi persatuan yang mampu mewadahi aspirasi dan kepentingan kaum pekerja secara makro. Semisal Front Persatuan Pekerja atau bahkan partai politik kaum pekerja yang memiliki keterwakilan politik di parlemen.
Ketiga, gerakan pekerja di Indonesia belum menyatu dalam aktivisme politik pergerakan pekerja. Belum bersama-sama berjuang dalam agenda edukasi politik pekerja dan advokasi sosial kaum pekerja.
Gerakan pekerja di Indonesia mayoritas masih didominasi oleh kalangan pekerja (pekerja) kelas “kerah biru” yang bekerja di sektor industri manufaktur dan industri hilir. Mereka kebanyakan sekarang ini berstatus pekerja kontrak yang tidak memiliki posisi tawar yang kuat di hadapan pemilik modal dan kebijakan ekonomi-politik negara.
Nasib kaum pekerja di Indonesia sekarang ini memang semakin mengalami proses pemiskinan dan semakin “tercerabut” hak sosial-ekonomi dan hak sipil-politiknya. Rencana Revisi UU No 13 tahun 2003 memiliki motivasi ekonomis-politik, untuk meliberalisasikan sektor perpekerjaan dan melemahkan posisi tawar politik komunitas pekerja di Indonesia.
Standar kesejahteraan hidup para pekerja di Indonesia juga semakin melemah karena himpitan dampak kebijakan ekonomi pemerintah yang berwatak neo-liberalisme. Kebijakan kenaikan harga BBM per Juli 2008 sampai 180 % telah membuat banyak pekerja kehilangan pekerjaan. Para pekerja yang masih bekerja terpaksa semakin mengencangkan “ikat pinggang”-nya karena upah yang mereka terima (UMR/UMK/UMP) jauh dari standar kebutuhan hidup layak (KHL) dan tidak bisa mengimbangi laju kenaikan harga berbagai produk dan barang kebutuhan pokok.
Kemiskinan struktural yang dialami kaum pekerja di Indonesia -saat ini ada 120 juta orang pekerja, 65 % adalah perempuan, 70 % bekerja disektor industri dan berkategori “pekerja kerah biru”- sebenarnya merupakan basis material bagi penguatan organisasi dan gerakan pekerja di Indonesia.
Namun sayangnya berbagai pegiat gerakan pekerja -serikat pekerja, partai pekerja “gurem”, LSM perpekerjaan- belum memiliki kesadaran unifikasi gerakan. Yakni kerelaan membangun front persatuan kaum pekerja untuk memperjuangkan agenda, kepentingan, aspirasi kaum pekerja.
Watak sektarianisme gerakan pekerja juga terasa dalam berbagai basis sektoral organisasi perpekerjaan. Lapisan pekerja “kerah putih” yang bekerja di sektor jasa dan industri yang berpenghasilan tinggi biasanya tidak memiliki solidaritas sosial untuk bersama komunitas pekerja memperjuangkan kepentingan autentik kaum pekerja.
Ada prasyarat politik bagi gerakan pekerja di Indonesia, jika ingin berhasil memperjuangkan kepentingan kolektif kaum pekerja. Gerakan pekerja di Indonesia memerlukan reorientasi strategis dan “ideologis”, yakni harus menggali keyakinan teori dan basis pijakan ideologi yang tepat untuk bisa membangkitkan kesadaran “kelas” dan politisi komunitas pekerja.
Langkah implementatif dari reorientasi ideologis dan strategis gerakan pekerja perlu dilakukan. Dengan demikian gerakan pekerja bisa menjadi inti dari kekuatan civil society dan proses perubahan sosial. Beberapa langkah itu, pertama, gerakan pekerja di Indonesia harus keluar dari watak ekonomisme. Gerakan pekerja adalah gerakan politik untuk mengubah kebijakan negara. Untuk itu perlu membangun partai alternatif yang siap merebut posisi keterwakilan di parlemen.
Dengan memiliki keterwakilan di parlemen kaum pekerja bisa mendorong terciptanya produk hukum dan perundang-undangan yang memihak kepentingan kaum pekerja.
Kedua, gerakan pekerja di Indonesia harus mampu membangun Front Persatuan (United Front) bersama komunitas terpinggirkan yang lain, seperti komunitas petani, nelayan, mahasiswa, pers untuk membangun blok demokrasi dengan program-program perjuangan ekonomi dan politik menolak arus neoliberalisme.
Ketiga, gerakan pekerja di Indonesia bukanlah gerakan mantelisme politik, yakni menjadi sayap atau alat kepentingan elite politik atau partai politik. Namun menjadi kekuatan yang mandiri sebagai pressure group untuk memperjuangkan demokrasi dan kepentingan substansial kaum pekerja.
Kita tegaskan, gerakan pekerja di Indonesia adalah gerakan yang memiliki basis dukungan dari komunitas, bukan gerakan akar jenggot yang tidak memiliki keanggotaaan komunitas pekerja.


Tinggalkan komentar

Kategori